Aplikasi yang terdapat di media sosial seperti like, love, komen dan share adalah fasilitas untuk berinteraksi dengan teman
media sosial.
Warga medsos mempergunakan fasilitas itu sebagai bentuk apresiasi terhadap unggahan atau apploud an yang tersaji. Yang dimaksud teman dalam konteks ini adalah teman yang tidak kita kenal di dunia nyata, tetapi mereka kita ‘kenal’ di dunia maya. Atau teman medsos itu kita kenal di dunia nyata dan juga di dunia maya.
Ketika kita mengunggah cerita tentang kita atau juga teman medsos kita menampilkan cerita tentang mereka, maka masing masing kita bisa mengapresiasi dengan menekan tombol like, love, atau mengkomennya. Akan tetapi bentuk apresiasi atau support bisa saja pula hanya menonton tetapi terbetik doa, atau ‘terucap’ di lubuk hati mengiyakan,(atau jar urang tu Banjar: bujur jua, bujur jua sambil baunggut ), dan atau pula tertawa atau bahkan berhambur air mata ketika membaca tulisan qoute, status teman medsos kita, dan sebagainya.
Jadi, bahwa ada teman medsos yang mengklik like, love, dan bahkan berkomentar terhadap unggahan kita. Tetapi ada juga yang menikmati sajian kita, dengan tidak menekan tombol like, love, dan mengomennya.
Bahwa jumlah like, love dan komen yang hadir di laman medsos ketika kita mengunggah cerita baik berupa video, tulisan, qoute itu, tidak bisa dijadikan ukuran atau indikator apresiasi teman terhadap cerita kita yang kita hadirkan di medsos kita. Bahwa yang membaca tulisan bisa saja berjumlah 80, tetapi yang me love, me like, cuma berjumlah 1 atau 2 orang saja. Masa iya seh?, Iya, mengingat perilaku kita bermedsos dalam konteks ini -mempergunakan fasilitas apresiasi yang tersedia seperti like, love dan komen itu tadi- tidak semua yang membaca dan yang menonton tergerak jentiknya untuk mecolok like, love dan komen itu meskipun mereka menonton bahkan”menikmatinya’ dan mengambil manfaat dari unggahan itu.
Bahwa seberapa jumlah dan banyaknya like, love dan komen dari teman medsos terhadap unggahan kita, tidak bisa menjadi ukuran atau indikator apresiasi dari teman medsos terhadap apploudan, unggahan kita di media sosial.
Oya, terkait hal di atas tersebut ada yang menarik untuk dibahas dan dikulik, yaitu persoalan literasi kita yang ‘Indonesia banget’, begini, ketika kita menyukai yang serba instant. Maksud serba instant dalam konteks ini tidak hanya disematkan pada makanan, tetapi tetapi juga identik pada periku tontonan. Foto atau gambar yang kita unggah akan banyak jumlah pelike, pe lovenya ketimbang yang lainnya, semisal tulisan. tulisan akan kurang apresiasinya dan kemudian hal itu berimbas kepada kurangnya jumlah like atau love itu dari teman medsos kita.
Mata sekejab menonton foto dan dengan sekejab pula memberi kesimpulan terkait maksud dari foto atau gambar itu, dan sekelebat melike atau me lovenya. Beda ketika mengapresiasi tulisan, yang butuh lebih banyak dalam soal waktu membacanya, dan butuh energi untuk memahaminya. Tidak banyak orang yang betah berada dalam situasi yang lama dan tidak cepat (tidak instan) itu.