Sekarang ini di wilayah Kalimantan-Selatan dan dibeberapa wilayah lainnya, sedang dan masih dilanda musim buah-buahan. Buah-buahan membanjiri pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar modern. mata dan lidah kita dimanja musim ini untuk menyaksikan aneka warna kulit buah dan merasakan nikmat dan lezatnya buah yang menyajikan aneka dan sensasi rasa yang berbeda dan luar biasa enaknya.
Buah adalah karunia Allah SWT kepada manusia dan kita berkewajiban mensyukurinya. Di dalam penciptaan buah, ada makna yang dalam yang semestinya kita ‘baca’ untuk diambil intisarinya guna nutrisi perjalanan kita sebagai hamba dalam mengarungi kehidupan ini. Bahwa didalam buah terdapat filosofi akan makna dan hakekat dunia dan didalam bentuk, warna, dan rasa buah yang berbeda adalah tanda atau ayat Tuhan sebagai bentuk kebesaran ciptaanNya. Ada buah yang berbulu, ada buah yang berduri dan ada buah yang tidak berbulu dan tidak berduri. Dari segi rasa, ada yang dalam penilaian rasa dalam batas kemanusiaan kita : sangat enak, enak dan rasa biasa-biasa saja. Allah menciptakan durian dengan cita rasa SANGAT ENAK, tetapi buah itu sangat menghawatirkan untuk dimakan. Allah menyajikan kepada kita buah semacam duku (langsat), rambutan, jeruk cempedak (tiwadak), dengan rasa ENAK (rasanya lebih enak buah durian dalam perhitungan lidah manusia), tetapi duku, rambutan, jeruk dan cempedak itu tidak menghawatirkan untuk dimakan. Ada apa dengan itu semua, ya. Ternyata Allah SWT memberi pelajaran kepada kita, bahwa dari berbagai ragam ciptaanNya, ada yang diberi lebih di satu sisi, tetapi akan diberi kurang di sisi lainnya. Demikian pula Allah SWT memberi kurang di sisi lain, tetapi akan memberi lebih dalam bentuk lainnya. Mengambil pelajaran dari buahan ini, bahwa kita disuruh untuk memikirkan hakekat keduniawian, bahwa dunia ini identik dengan kata atau kalimat TETAPI. Kata TETAPI menunjukan karakter dunia, bahwa tidak ada yang sempurna dan mutlak sempurna dalam ‘perhitungan’ atau dalam ‘menghitung’ apapun di dunia ini. Termasuk dalam hal tersebut ketika ‘memperhitungkan’ kejadian dalam berbagai bentuk keadaan kemanusian- manusia, bahwa kata ‘tetapi’ yang identik dengan ‘ketidak sempurnaan’ akan selalu menyertai kita. ‘Tetapi’ dan ‘ketidaksempurnaan’ adalah identitas atau melekat pada makhluk, sementara kesempurna adalah milik absulotik Tuhan Allah SWT. Seluruh ciptaan Allah yang terhampar dibumi ini seolah ingin ‘mengabarkan’ kepada kita betapa Kemahabesaran Tuhan atas makhlukNya dan betapa ketidaksempurnaan kita sebagai hambanya. Pemahaman yang dalam terhadap hal tersebut adalah merupakan ‘media’ dan ‘sarana’ untuk terus mengkontruk bangunan keimanan kita yang akan memunculkan sifat dan pribadi tawadhu’, berupa senantiasa bersyukur atas kelebihan dan karunia, serta senantiasa bershabar atas segala kekurangan dan masih tertundanya segala doa-doa. Kemudian juga bahwa, tidak akan ada celah sedikitpun untuk sombong dengan karunia dan dengan gampang menghinakan taqdir dan keadaan orang lain, dan tidak akan ada sedikitpun ruang untuk pesimis, skeptis dan rendah diri dengan segala bentuk kekurangan kita.
So, buah-buahan dan musim buah memberi pelajaran mendalam akan dunia yang sementara. Kesementaraan dunia menyadarkan kita akan paradoksnya selalu kehidupan ini berupa ‘lebih kurang’ dan ‘kurang lebih’, yang bermuara dan berujung pada dua kata paradoks besar, yang terhimpun dalam bingkai iman yaitu syukur dan shabar dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman, zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan (QS: an-Nahl; 11)