QUO VADIS MATERIALISME

Materialisme, seperti yang kita pahami adalah sesuatu yang belum ‘sampai’, ya, belum ‘sampai’ ketitik ‘Tuhan’. Bahwa sebagai umat yang beragama kita sering lupa atau katakanlah ‘belum sampai’ ketitik makna beragama itu sendiri, yaitu ‘menghadirkan’ Tuhan, Allah SWT dalam pikiran, perasaan, hati, ucapan, perbuatan dan tindakan.

Bahwa beragama selalu identik dengan kebaikan-kebaikan, dan seseorang yang beragama sudah seharusnya mengetahui dan memahami, serta kemudian melaksanakan perintah kebaikan tersebut dengan segenap kepatuhan. Sementara itu, menggunakan pikiran, hati, ucapan, perbuatan, untuk keburukan, adalah merupakan larangan dan dilarang agama itu sendiri.

Ajaran agama yang terdiri dari aqidah, ibadah dan akhlakul karimah, sebenarnya memiliki kandungan ajaran untuk manusia agar sampai ketitik tertinggi yaitu ‘menghadirkan’ Tuhan dalam perilaku ibadah dan perkataan serta perbuatannya. Sepertinya menurut saya, ada yang mesti diperbaiki atau ada yang mesti dikaji ulang tentang materi-materi pendidikan Islam dan dakwah selama ini. Bahwa beragama tidak saja dalam batas permukaan dan berhenti pada tataran aktivitas seremoni belaka, tetapi semestinya sampai ketitik makna dan kandungan, sehingga akan ‘ditemukan’ Tuhan dengan segala kebesaranNya dalam setiap laku dan perilaku ritual ibadah kita dan pula juga ‘mensemayamkan’ Tuhan dalam lintasan hati yang terrejawantah lewat perkataan, perbuatan yang beradab dan mulia. Manakala kalau sudah demikian, maka akan ditemukan akhlak mulia dalam bergaul dengan sesama dan seluruh makhluk Tuhan lainnya dibumi ini.

Selama ini, terlihat bahwa ketiga materi keislaman berupa aqidah, ibadah dan akhlakul karimah tersebut belum tuntas dan belum ‘selesai’ dikaji atau seolah ketiga materi tersebut dipelajari dan dipahami tidak dalam satu paket yang kemudian berakibat pada tidak satu paketnya atau tidak menghadirkan Tuhan dalam aktivitas ibadah dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Karena belum atau tidak sampai ketitik tersebut itulah maka berarti belum ‘tertemukan’ Tuhan sebagai puncak penyerahan dan penghambaan seorang hamba. Akibat dari keadaan tersebut yang terjadi kemudian dan realitas menunjukan adalah bahwa perilaku manusia kebanyakan lepas dan seolah berjalan sendiri tanpa pengawalan dari ajaran agama itu sendiri. Bukti nyatanya adalah sedemikian gampangnya menghujat, mencela, dan mencaci-maki, berprasangka buruk, serta menilai buruk tanpa reserve pada sesama manusia, padahal seluruh ucapan, pikiran, dan perbuatan, kelak akan berhadapan dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, Allah azza wa jalla, sang pemilik jagad ini. Bahkan sebenarnya pula, adalah bahwa segala perbuatan baik maupun perbuatan buruk setiap manusia, hasanat atau siksa atas hasil perbuatan tersebut sebenarnya sudah akan ‘dibayar’ atau akan dibalas oleh Allah SWT selama manusia masih berada didunia ini.

Hakekatnya, manusia identik dengan dunia yang bermakna ‘sementara’ itu sendiri. Kesementaraan manusia ‘digiring’ oleh materi dakwah dan materi pendidikan Islam berupa aqidah, ibadah, dan akhlak untuk sampai ke keabadian yaitu ukhrawi atau ketitik sempurna dalam batas kemanusiaannya, sehingga ‘menemukan’ Tuhan dalam keridha’anNya. Pada ketika tiga dasar pokok ajaran Islam tersebut itu tanpa dipelajari atau tanpa sampai ketuntasnya yaitu ketitik Tuhan tadi, maka yang terjadi adalah berpikir, berkata, berbuat dan bertindak akan berada dan terjebak pada kungkungan dan tataran materialistik duniawi yang belum sampai ketitik Tuhan itu tadi. Dalam rangka itu, disinilah peran strtegis pendidikan Islam dan dakwah Islam. Adalah pendidikan Islam dan dakwah kita yang sudah pasti selalu harus diperbaharui, disegarkan, atau dicerdaskan dengan materi yang menyangkut aqidah, ibadah, dan akhlak yang tidak berhenti dan berada pada tataran seremoni atau sekedar dikerjakan belaka. Pelajaran atau pengibaratan dari Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang baru lalu kita peringati, adalah sebuah pelajaran besar agar manusia didalam beribadah dan didalam berbuat dan bertindak ‘menaikkan’ ketitik yang tinggi yaitu bahwa ‘ada’ Tuhan dalam setiap perilaku ibadah dan Tuhan selalu ‘ada’ dan bersemayam di lubuk hati kita yang kemudian terrejawantah, terrefleksi dan menjadi figur dan menjadi kepribadian yang mulia disepanjang detik dan dilintasan waktu-waktu kita selama hidup didunia yang hanya sementara ini..

About Siti Aisyah

Check Also

PESAN SEJATI MAULID NABI

PESAN SEJATI MAULID NABI Oleh Siti Aisyah “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *